Buku A. Fatih Syuhud

Visi, pemikiran dan karya tulis A. Fatih Syuhud Pengasuh PP Al-Khoirot Malang

Mahar dan Resepsi Perkawinan dalam Islam

Mahar dan Resepsi Perkawinan dalam Islam Dalam sisi konteks harta yang dikeluarkan dalam prosesi perkawinan, mahar menempati posisi yang lebih penting dibanding resepsi perkawinan atau walimatul urs. Dalam arti, harta yang dikeluarkan untuk membayar mahar relatif lebih besar dibanding untuk walimatul urs.
Oleh A. Fatih Syuhud
Ditulis untuk Buletin Al-Khoirot
Pondok Pesantren Al-Khoirot Malang

Ulama sepakat (ijmak) bahwa mahar atau maskawin adalah salah satu syarat dari pernikahan hal ini berdasarkan pada firman Allah QS An-Nisa’ 4:4. Namun demikian, tidak ada batas minimal atau maksimal mengenai nilai mahar. Dalam QS Al-Baqarah 2:236 Allah hanya memberi kisi-kisi bahwa mahar sebaiknya menurut kemampuan suami.

Dalam sebuah hadits sahih riwayat Bukhari dan Muslim (muttafaq alaih) dikisahkan di mana salah seorang Sahabat yang sangat miskin hendak menikahi seorang wanita salihah. Rasul bersabda, “Berilah mahar walau berupa cincin besi.” Saking miskinnya, cincin besi pun tidak punya. Rasulullah kemudian menyuruh Sahabat tersebut untuk membayar mahar berupa bacaan Al-Quran yang dihafalnya.[1]

Keputusan Nabi untuk mempermudah proses perkawinan itu merupakan salah satu ciri khas syariah Islam yang memprioritaskan esensi dari tujuan perkawinan itu sendiri yaitu untuk memenuhi panggilan natural manusia, memelihara akhlak, melindungi tatanan sosial masyarakat, dan melestarikan kemanusiaan itu sendiri.  Karena begitu pentingnya lembaga perkawinan dalam Islam, maka seorang muslim harus keluar dari tradisi kalau langkah itu memang diperlukan. Keluar dari tradisi dan lebih berfihak pada anjuran syariah itu tidak mudah. Khususnya dalam masalah yang terkait dengan nilai mahar dan resepsi perkawinan. Apalagi di suatu daerah atau negara yang tradisinya begitu kuat dan mengakar walaupun secara konsep tidak selaras dengan spirit dan hakikat syariah berkaitan dengan tujuan utama perkawinan itu sendiri.

Nilai Mahar dalam Tradisi

Di negara-negara Arab seperti Arab Saudi, Kuwait, Uni Emirat Arab, dan lain-lain, calon pengantin laki-laki harus menyediakan dana minimal Rp. 500.000.000 (lima ratus juta rupiah) atau setengah miliar untuk perkawinannya. Uang sebanyak itu sudah termasuk biaya mahar, biaya perkawinan yang ditanggung pengantin laki-laki, biaya rumah, beli mobil dan biaya bulan madu. Di sebagian masyarakat Arab, semakin tinggi mahar semakin bangga mereka karena itu seakan sebagai bukti bahwa anak perempuan mereka mendapat calon suami dengan status sosial tinggi. [2] Konsekuensinya, tidak sedikit pria Arab yang kurang mampu kemudian terpaksa menunda rencana perkawinannya atau menikah dengan wanita dari negara lain.  Hal ini berakibat pada banyaknya perempuan Arab yang jadi perawan tua karena sulitnya mencari suami. Bagi pemuda kurang mampu yang nekat ingin menikah, mereka harus berhutang ke bank dan membayar kredit bulanan.

Hal senada dengan skala lebih kecil terjadi juga di Indonesia. Daerah Sulawesi, khususnya suku Bugis, dikenal dengan nilai mahar yang paling tinggi di Indonesia. Nilainya berkisar antara Rp. 20.000.000 (dua puluh juta) sampai ratusan juta rupiah.  Belum termasuk pemberian lainnya seperti sebidang tanah, seperangkat perhiasan mas dan lainnya. [3]

Aceh merupakan daerah dengan nilai maskawin terbesar kedua setelah Sulawesi. Nilai mahar di Aceh adalah sepuluh mayam emas. Satu mayam emas setara dengan 3.3 gram. Jadi, seorang pemuda harus menyiapkan mahar senilai 33 gram emas atau uang tunai sekitar Rp. 15.000.000 (lima belas juta). Nilai ini tidak termasuk ke dalam seserahan atau hantaran lainnya yang berupa keperluan hidup sehari-hari si wanita, seperti makanan, pakaian, sepatu, tas, kosmetika dan sebagainya.[4]

Di daerah Sumatera secara umum, acara lamaran tidak hanya membahas  tentang mahar tapi juga biaya resepsi perkawinan pengantin perempuan yang menjadi tanggungan mempelai pria. Calon mempelai pria harus mengeluarkan setidaknya Rp. 15 juta untuk calon mempelai wanita. Tentunya, itu di luar biaya resepsi di rumah mempelai laki-laki itu sendiri.[5]

Mahar pengantin “paling murah” di Indonesia tampaknya terdapat di kalangan suku-suku di pulau Jawa seperti Betawi, Sunda, Jawa dan Madura. Di kalangan suku-suku ini, mahar perkawinan nilainya sangat terjangkau berkisar antara 50.000 (lima puluh ribu) sampai 1 juta. Dan tidak ada tanggungan beban untuk membiayai resepsi pernikahan pengantin wanita.

Nilai Mahar dalam Islam

Seperti disinggung di muka, nilai mahar dalam Islam tidak ditentukan jumlah minimal atau maksimalnya. Yang prinsip adalah pengantin laki-laki harus memberikan mahar menurut kemampuannya[6].Dalam sebuah hadits sahih riwayat Hakim dan Baihaqi Nabi bersabda, “Sebaik-baik mahar adalah yang paling mudah (baca, murah).”[7]

Dalam sebuah hadits riwayat Abu Dawud dan Nasa’i dari Ibnu Abbas diceritakan bahwa mahar Ali bin Abu Thalib kepada putri Nabi, Siti Fatimah, adalah berupa perisai perang karena tidak ada harta lain yang dimiliki Ali.[8]

Imam Muslim meriwayatkan hadits dari Aisyah saat Aisyah ditanya berapa mahar yang diberikan Rasulullah kepada istri-istri beliau. Aisyah menjawab, “Mahar Nabi kepada istri-istrinya sejumlah 12½ uqiyah atau 500 dirham perak.”[9] Satu dirham perak zaman Nabi sama dengan 2 gram perak saat ini.  Itu berarti mahar Nabi senilai 1000 gram perak. Kalau satu gram perak saat ini – Juni 2012– seharga Rp. 12.000/gram, maka nilai mahar Nabi adalah 12.000 x 1000 = Rp. 12.000.000 (dua belas juta rupiah).[10]  Suatu jumlah yang terhitung sangat kecil bagi figur seorang Nabi, Rasul dan kepala negara baik ditinjau dari standar saat itu apalagi memakai standar dunia Arab saat ini. Nabi seakan ingin memberi contoh bahwa kendatipun kita mampu untuk memberi mahar yang banyak hendaklah menjaga diri untuk tidak berlebihan dan tetap sederhana.

Resepsi Pernikahan

Walimatul urs atau resepsi pernikahan itu hukumnya sunnah. Hal ini berdasar hadits muttafaq alaih (riwayat Bukhari & Muslim) bahwa Nabi bersabda pada Abdurrahman bin ‘Auf yang baru saja menikah, “Adakan resepsi walau hanya dengan seekor kambing.”[11] Dalam hadits riwayat Ibnu Majah Nabi bersabda, “Umumkan nikah.”[12] Dari kedua hadits ini jumhur ulama sepakat akan sunnahnya resepsi pernikahan seperti dikutip dalam kitab Al-Mausu’ah al-Fiqhiyah.[13]

Ulama antar-madzhab juga sepakat bahwa walimah disunnahkan diadakan setelah dukhul atau terjadinya hubungan intim antara suami-istri. Bukan sebelumnya seperti biasa terjadi di Indonesia. Namun, seandainya diadakan sebelum dukhul, tetap dapat sunnahnya walimah.[14]

Resepsi Pernikahan Nabi

 

Dalam sejumlah hadits diceritakan bahwa Rasulullah juga mengadakan walimatul urs saat menikah. Walimah Rasulullah dengan istri-istri beliau bervariasi namun semuanya dilakukan dengan sangat sederhana. Sebuah hadits sahih riwayat Bukhari menyebutkan:

أًنَّهُ صلى الله عليه وسلم أَوْلَمَ على بَعْضِ نِسَائِهِ وَهُوَ أُمُّ سَلَمَةِ بِمُدَّيْنِ مِنْ شَعِيْرٍ وعلى صَفِيَّةَ بِتَمْرٍ وَسَمِنٍ وَأَقِطٍ

Artinya: Bahwasanya Rasulullah mengadakan walimah untuk sebagian istrinya yaitu Ummu Salamah dengan dua mud gandum (sekitar 5 kg) Dan juga kepada Sofiah dengan kurma dan samin (minyak samin) serta keju.

Walaupun resepsi pernikahan Nabi begitu sederhananya, namun ulama madzhab Syafi’I menganjurkan agar bagi orang yang mampu setidaknya dengan seekor kambing berdasar perintah Nabi pada Abdurrahman bin ‘Auf pada hadits yang dikutip di atas. Muhammad Syihabuddin Ar-Ramli (Imam Ramli) dalan Nihayatul Muhtaj ila Syarhil Minhaj berfatwa bahwa resepsi perkawinan bagi yang mampu minimal seekor kambing sedang yang tidak mampu menurut kemampuannya seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah sendiri.[15]:

Terpengaruh Tradisi Hedonis Materialis

Dari uraian singkat di atas jelaslah bahwa dalam masalah perkawinan, Islam lebih menekankan pada esensi perkawinan itu sendiri yaitu memenuhi panggilan natural manusia, menjauhkan diri dari zina, memelihara akhlak, melindungi tatanan sosial masyarakat, dan melestarikan kemanusiaan.

Dalam sisi konteks harta yang dikeluarkan dalam prosesi perkawinan, mahar menempati posisi yang lebih penting dibanding resepsi perkawinan atau walimatul urs. Dalam arti, harta yang dikeluarkan untuk membayar mahar relatif lebih besar dibanding untuk walimatul urs. Salah satu sebabnya karena mahar sifatnya wajib sedang walimatul urs adalah sunnah.

Saat ini ada kencenderungan di kalangan umat Islam untuk semakin meningkatkan level resepsi pernikahan ke arah yang lebih tinggi atau mewah baik dengan cara memaksa seperti berhutang atau karena memang mampu melakukannya. Perilaku ini sedikit banyak adalah pengaruh dari budaya hedonisme dan materialisme yang digembar-gemborkan Barat.[16]  Pola pikir atau mindset hidup mewah masuk ke benak umat Islam melalui tontonan televisi dalam bentuk iklan-iklan produk barang mewah, penampilan para artis idola yang glamor, dan penayangan secara live berita resepsi pernikahan selebritis atau keluarga tokoh nasional yang menghabiskan dana milyaran rupiah. Hal ini lebih diperparah dengan adanya kenyataan di mana para tokoh agama seperti kyai dan ulama yang kaya juga bermewah-mewahan saat menyelenggarakan resepsi perkawinan anak mereka.[17] Semua itu telah menggeser nilai dan komitmen umat Islam pada kesederhanaan pola hidup yang diajarkan Al-Quran dan melalui perkataan serta teladan dari Rasulullah.

Islam Menganjurkan Hidup Sederhana

Allah berfirman dalam QS Al-A’raf 7:31 وَكُلُوا۟ وَاشْرَبُوا۟ وَلَا تُسْرِفُوٓا۟ إِنَّهُۥ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ

Artinya: makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.[18] Muhammad bin Ahmad Al-Anshari Al-Qurtubi mengomentari ayat di atas dalam Tafsir Al-Qurtubi demikian:

وكلوا واشربوا ولا تسرفوا قال ابن عباس : أحل الله في هذه الآية الأكل والشرب ما لم يكن سرفا أو مخيلة . فأما ما تدعو الحاجة إليه ، وهو ما سد الجوعة وسكن الظمأ ، فمندوب إليه عقلا وشرعا ، لما فيه من حفظ النفس وحراسة الحواس ; ولذلك ورد الشرع بالنهي عن الوصال ; لأنه يضعف الجسد ويميت النفس ، ويضعف عن العبادة ، وذلك يمنع منه الشرع ويدفعه العقل

Arti ringkasan: Ibnu Abbas berkata: dalam ayat ini Allah menghalalkan makan dan minum selagi tidak berlebihan.

Islam tidak mengijinkan kehidupan yang berlebihan dan konsumtif. Membelanjakan uang untuk sesuatu di luar kebutuhan tergolong dalam kategori israf atau berlebihan. Orang kaya dianggap lulus dari ujian hartanya apabila ia (a) tetap menjaga hidup sederhana dan tidak konsumtif; (b) membayar zakat sesuai kewajibannya; (c) bersedekah sunnah kepada kalangan fakir miskin dengan cara menjadi orang tua asuh membiayai pendidikan mereka, dan lain-lain.

Salah satu sebab Islam tidak menyukai umatnya yang hartawan untuk hidup mewah adalah karena pola hidup seperti itu memiliki efek buruk pada pelakunya seperti sombong, keras hati  atau sulit meneirma nasihat, pelit dan kurang atau tidak peduli pada kaum dhuafa. Dalam QS Al-Furqan 25:67 Allah berfirman:

وَالَّذِينَ إِذَآ أَنفَقُوا۟ لَمْ يُسْرِفُوا۟ وَلَمْ يَقْتُرُوا۟ وَكَانَ بَيْنَ ذٰلِكَ قَوَامًا

Artinya:  Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.[19]

Ayat ini menurut Yusuf Qardhawi menunjukkan perintah Allah kepada umat Islam agar berpola hidup sederhana dalam membelanjakan hartanya. Dalam kitab Malamihul Mujtamak al-Muslim Qaradhawi mengomentari ayat ini demikian:

إن الإسلام لا يحرم على المسلم طيبات الحياة، كما حرمتها بعض الديانات والفلسفات، كالبرهمية الهنديه، والمانوية الفارسية، والرواقية اليونانية، والرواقية النصرانية. إنما يحرم الاعتداء في الاستمتاع بها، أو الإسراف في تناولها. يقول تعالى: (يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُحَرِّمُوا طَيِّبَاتِ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوا ۚ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ). ويقول عز وجل: (وَآتِ ذَا الْقُرْبَىٰ حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَلَا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا . إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ ۖ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا) . والفرق بين التبذير والإسراف: أن الإسراف تجاوز الحد في الحلال، والتبذير: الإنفاق في الحرام، ولو كان درهماً واحداً.

(Islam tidak mengharamkan seorang muslim menikmati kehidupan yang layak. Islam hanya mengharamkan cara hidup yang berlebihan dalam membelanjakan harta atau dalam memperolehnya. … Perbedaan antara tabdzir dan israf adalah israf berarti melebihi batas dalam membelanjakan harta yang halal sedangkan tabdzir adalah membelanjakan harta dalam perkara haram walau hanya satu dirham).[20]

Kesimpulan

Umat Islam yang kaya harus memulai belajar hidup sederhana dalam segala aktifitas kehidupan khususnya dalam resepsi perkawinan dan resepsi khitan. Kemurahan dalam menentukan standar mahar dan kesederhanaan dalam walimatul urs-nya di samping sesuai dengan ajaran Islam juga akan mendorong para pemuda untuk tidak takut menikah dan akan semakin mengurangi bahaya perzinahan dan pergaulan bebas.

Keberanian untuk merubah tradisi maskawin mahal dan walimatiurs yang mewah harus dimulai dari hidup sederhana dalam kehidupan sehari-hari. Hidup sederhana berarti membelanjakan harta menurut kebutuhan tanpa berlebihan, atau terkesan bermewah-mewahan. Pola hidup sederhana harus dimulai dari kalangan elite umat Islam yang kaya yang berasal dari kalangan para ulama, kyai, mursyid tariqat, habaib dan pejabat.

Umat Islam yang kaya harus hidup sederhana karena itu (a) perintah Islam; (b) mendorong kalangan hartawan untuk peduli pada kaum dhuafa; (c) memperkecil kesenjangan dan kecemburuan sosial; dan (d) meningkatkan kualitas akhlak.

Untuk menuju ke arah ini, maka ulama dan tokoh masyarakat harus menjadi pelopor dalam merubah tradisi yang ada dengan cara yang bijaksana dan bertahap dan memulainya dari diri sendiri.[]

CATATAN AKHIR

[1] Teks hadits riwayat Bukhari & Muslim: قام رجل من أصحابه فقال: يا رسول الله! إن لم يكن لك بها حاجة فزوِّجنيها، فقال: «فهل عندك من شيء؟»، فقال: لا والله يا رسول الله!

فقال: «اذهب إلى أهلك فانظر هل تجدُ شيئًا؟»، فذهب ثم رجع فقال: لا والله ما وجدت شيئًا، فقال رسول الله – صلى الله عليه وسلم -: «انظر ولو خاتمًا من حديد!»، فذهب ثم رجع، فقال: لا والله يا رسول الله، ولا خاتمًا من حديد!، ولكنْ هذا إزاري – قال سهل: ما له رداء – فلها نصفه! فقال رسول الله – صلى الله عليه وسلم – «ما تصنع بإزارك؟ إن لبِسْتَه لم يكن عليها منه شيء، وإن لبسَتْه لم يكن عليك منه شيء». فجلس الرجل حتى إذا طال مجلسه قام، فرآه رسول الله – صلى الله عليه وسلم  موليًا، فأمر به فدُعِي، فلما جاء قال: «ماذا معك من القرآن؟»، قال معي سورة كذا وسورة كذا  عَدَّدَها، فقال: «تقرؤهُن عن ظهر قلبك؟» [أي غَيبًا من حفظك؟]، قال: نعم، قال: «اذهب فقد ملَّكْتُكَها [أي زوَّجتُكَها] بما معك من القرآن!»

[2] Mahmud Sallam Zanati, نظم العرب القبلية المعاصرة, University of California, 1992.

[3] Adat dan upacara perkawinan daerah Sulawesi Tenggara, Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Sulawesi Tenggara, 1978.

[4] Soerjono Soekanto, Sosiologi: suatu pengantar, RajaGrafindo Persada, 2007.

[5] Wawancara saya dengan mahasiswa asal Sumatera yang belajar di India pada  tahun 2005.

[6] Hadits sahih riwayat Bukhari Muslim Nabi bersabda: التمس ولو خاتما من حديد Berilah mahar walau berupa cincin besi.

[7] خير الصداق أيسره

[8] Teks hadits: أن عليا قال :«تزوجت فاطمة رضي الله عنها ، فقلت : يا رسول الله ، ابن بي – وهو الدخول بالزوجة – . قال : أعطها شيئا . قلت : ما عندي من شيء . قال : فأين درعك الحطمية ؟ قلت : هي عندي . قال : فأعطها إياه

[9] Teks hadits: عن عائشة رضي الله عنها أنها سئلت عن صداق النبي صلى الله عليه وسلم لأزواجه فقالت: كان صداقه لأزواجه ثنتي عشرة أوقية ونشا أي ونصف وذلك خمسمائة درهم

[10] Untuk ukuran uqiyah, dinar dan dirham Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah  hal. 263 menulis: فاعلم أن الإجماع منعقد منذ صدر الإسلام وعهد الصحابة والتابعين : أن الدرهم الشرعي هو الذي تزن العشرة منه سبعة مثاقيل من الذهب ، والأوقيَّة منه : أربعين درهماً ، وهو على هذا سبعة أعشار الدينار .. .. وهذه المقادير كلها ثابتة بالإجماع .

[11] Teks hadits: عَنْ أَنَسٍ ، أَنَّ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ عَوْفٍ ، قَالَ : تَزَوَّجْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ ، فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ ، صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ ، : أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ

[12] Teks hadits: أعلنوا النكاح

[13] Teks asal dalam Al-Mausuah al-Fiqhiyah: يرى جمهور الفقهاء أنه مندوب بأي شيء متعارف كإطعام الطعام عليه ، أو إحضار جمع من الناس زيادة على الشاهدين، أو بالضرب فيه بالدف حتى يشتهر ويعرف

[14] Muhammad bin Syihabuddin Ar-Romli (Imam Ramli) dalam Nihayatul Muhtaj ila Syarhil Minhaj mengatakan: واستنبط السبكي من كلام البغوي أن وقتها موسع من حين العقد ولا آخر لوقتها فيدخل وقتها به ، والأفضل فعلها بعد الدخول : أي عقبه { لأنه صلى الله عليه وسلم لم يولم على نسائه إلا بعد الدخول }

[15] Teks asal: وأقلها للمتمكن شاة ولغيره ما قدر عليه . قال الثاني رحمه الله : والمراد أقل الكمال شاة لقول التنبيه : وبأي شيء أولم من الطعام جاز ، وهو يشمل المأكول والمشروب الذي يعمل في حال العقد من سكر وغيره ولو موسرا

[16] Hedonisme  dan materialisme adalah pemujaan pada harta dan kemewahan melebihi apa yang dibutuhkan.

[17] Lihat A. Fatih Syuhud, “Pernikahan Mark ‘Facebook’ Zuckerberg”

[18] Lihat juga QS Al-An’am  6:141; Yunus 10:12 dan 83; Al-Anbiyah’ 21:9

[19] Lihat juga QS Az-Zukhruf 43:23; Saba’ 34:34

[20] Yusuf Qaradhawi,  Malamihul Mujtamak al-Muslim  (ملامح المجتمع المسلم الذي ننشده), Doha, 1993.

Mahar dan Resepsi Perkawinan dalam Islam
Kembali ke Atas