Buku A. Fatih Syuhud

Visi, pemikiran dan karya tulis A. Fatih Syuhud Pengasuh PP Al-Khoirot Malang

Hukum Kawin Paksa dalam Islam

Hukum Kawin Paksa dalam Islam. Paksaan tidak boleh dalam bentuk apapun, termasuk dalam hal pernikahan kecuali dalam kasus khusus dan itupun dilakukan oleh wali mujbir (ayah). Karena, hubungan dua insan yang dilandasi keterpaksaan akan berakibat kurang baik secara psikologis bagi kedua pihak suami istri.
Oleh A. Fatih Syuhud
Ditulis untuk Buletin Al-Khoirot
Pondok Pesantren Al-Khoirot Malang

Terbongkarnya skandal korupsi seorang presiden partai Islam yang cukup menggemparkan[1] menyisakan berita lain: bahwa ia mempunyai istri simpanan yang konon dinikahinya secara siri. Usianya masih muda karena masih sekolah SMK saat dinikah pada 2012. Konon, pernikahannya dilakukan karena paksaan orang tua.[2] Terlepas dari benar tidaknya terjadinya pemaksaan tersebut, pertanyaan terpenting adalah bagaimana hukum kawin paksa itu sendiri menurut pandangan syariah Islam?  Secara umum, status perempuan terbagi dalam 3 kategori yaitu (a) gadis di bawa umur atau belum baligh; (b) wanita dewasa yang masih perawan; dan (c) perempuan janda.

Anak Perempuan Di Bawah Umur (Belum Baligh)

Menurut sebagian pendapat, anak perempuan kecil yang masih belum mencapai usia akil baligh boleh menikah. Dan ayah kandungnya sebagai wali mujbir[3] boleh menikahkan anak tersebut dengan pria dewasa baik dengan persetujuannya atau tidak. Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Fathul Bari menyatakan:

قال ابن بطال : يجوز تزويج الصغيرة بالكبير إجماعاً ، ولو كانت في المهد ، لكن لا يمكّن منها حتى تصلح للوطء

(Ibnu Battal berkata: Boleh menikahkan anak perempuan kecil dengan pria dewasa secara ijmak. Walaupun masih dalam gendongan. Akan tetapi melakukan hubungan intim sampai pantas masa untuk itu).[4]
Senada dengan itu adalah pendapat Al-Jaziri dalam Al-Fiqh alal Madzahibil Arba’ah dalam mendefinisikan wali mujbir dan non-mujbir sebagai berikut:


ينقسم الولي إلى قسمين: ولي مجبر له حق تزويج بعض من له عليه الولاية بدون إذنه ورضاه وولي غير مجبر ليس له ذلك بل لا بد منه ولكن لا يصح له أن يزوج بدون إذن من له عليه الولاية ورضاه

(Wali terbagi menjadi dua wali mujbir yaitu wali yang mempunyai hak untuk menikahkan sebagian perempuan yang berada di bawah perwaliannya tanpa ijin dan ridonya. Dan wali nonmujbir yaitu wali yang tidak punya hak untuk menikahkan kecuali atas izin wanita yang berada di bawah perwaliannya.[5]

Ibnu Hazm dalam Al Mahalli  memiliki pendapat yang sama. Dia mengatakan:
وللأب أن يزوج ابنته الصغيرة البكر مالم تبلغ بغير إذنها ، ولا خيار لها إذا بلغت

(Ayah boleh menikahkan anak perempuannya yang masih kecil dan perawan tanpa ijinnya selagi masih belum baligh. Dan anak tersebut tidak boleh memilih untuk bercerai saat dia baligh kelak) [6] Dalil atas bolehnya pernikahan ini adalah peristiwa dinikahkannya Aisyah oleh ayahnya Abu Bakar saat usianya 6 (enam) tahun. Kata Ibnu Hazm:

الحجة في إجازة إنكاح الأب ابنته الصغيرة البكر ، إنكاح أبي بكر رضي الله عنه النبي صلى الله عليه وسلم من عائشة رضي الله عنها وهي بنت ست سنين ، وهذا أمر مشهور غنينا عن إيراد الإسناد فيه ، فمن ادعى أنه خصوص لم يلتفت لقوله ، لقول الله عز وجل ( لقد كان لكم في رسول الله أسوة حسنة لمن كان يرجو الله واليوم الآخر

Sementara itu, Ibnu Syubromah tidak sependapat. Ia mengatakan: لا يجوز إنكاح الأب ابنته الصغيرة إلا حتى تبلغ وتأذن ، ورأى أمر عائشة رضي الله عنها خصوصاً للنبي صلى الله عليه وسلم  (Tidak boleh seorang ayah menikahkan anak perempuannya yang masih kecil kecuali setelah baligh dan atas ijinnya. Adapun pernikahan Aisyah adalah kasus khusus untuk Nabi saja)[8]

Anak Perawan Baligh (Dewasa)

Terdapat sejumlah perbedaan di kalangan ulama baik dalam madzhab Syafi’i atau ulama dari madzhab lain seperti Hanbali, Hanafi dan Maliki tentang boleh tidaknya menikahkan anak perempuan baligh yang perawan secara paksa.

Sikap ulama dalam soal ini dapat dikategorikan dalam dua pendapat. Pendapat pertama, ayah boleh memaksa anak perawannya untuk menikah. Ibnu Abdil Barr dalam At-Tamhid mengutip beberapa pendapat ulama yang membolehkan ayah memaksa nikah anak perempuan baligh yang perawan sebagai berikut: [9]

واختلفوا في الأب هل يجبر ابنته الكبيرة البكر على النكاح أم لا فقال مالك والشافعي وابن أبي ليلى إذا كانت المرأة بكرا كان لأبيها أن يجبرها على النكاح ما لم يكن ضررا بينا وسواء كانت صغيرة أو كبيرة وبه قال أحمد وإسحاق وجماعة وحجتهم أنه لما كان له أن يزوجها وهي صغيرة كان له أن يزوجها وهي كبيرة إذا كانت بكرا لأن العلة البكورة

(Ulama berbeda pendapat soal apakah ayah dapat memaksa anak perempuanya yang perawan dan baligh untuk menikah atau tidak. Imam Malik, Imam Syafi’i, Ibnu Abi Laila berpendapat boleh memaksa selagi pemaksaan itu tidak menimbulkan bahaya yang jelas baik pada anak perempuan yang masih kecil atau baligh. Alasan mereka adalah apabila ayah dapat menikahkan anak yang masih kecil, maka berarti boleh menikahkan saat mereka sudah besar.)

Bahkan Imam Syafi’i berpendapat  kakeknya pun dapat memaksa cucu perempuan menikah apabila ayah tidak ada. Sebagaimana disebut oleh Imam Nawawi dalam Al-Majmuk Syarh Muhadzab sebagai berikut:
فإن كانت البكر بالغا فللأب والجد اجبارها على النكاح وان أظهرت الكراهية، وبه قال ابن أبي ليلى وأحمد وإسحاق

(Apabla anak perawan itu sudah dewasa atau baligh maka ayah atau kakeknya boleh memaksanya menikah walaupun anak itu menunjukkan rasa tidak suka. Ini juga pendapat Ibnu Abi Laila, Ahmad dan Ishaq.[10] Imam Malik membatasi hanya ayah yang boleh memaksa sedangkan kakek tidak boleh.

Namun, dalam madzhab Syafi’i bolehnya wali mujbir memaksa anak perawan menikah harus memenuhi 7 (tujuh) syarat antara lain (a) tidak ada permusuhan antara keduanya [wali dan anak] yang tampak secara lahir; (b) tidak ada permusuhan abadi yang tampak antara anak perawan dan suami; (c) suami harus kufu’ atau sebanding; (d) suami harus kaya dalam arti mampu membayar mahar.; (d) mahar harus tunai.[11]

Pendapat kedua menyatakan bahwa ayah atau wali lain tidak boleh dan tidak berhak memaksa gadis perawan untuk menikah. Kalau hal itu terjadi, maka pernikahannya tidak sah.  Dan status pernikahannya menunggu ijin dari wanita yang bersangkutan.  Ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah dan ulama madzhab Hanafi, Auza’i, Tsauri, Abu Tsaur, Abu Ubaid, Ibnu Mundzir dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad.[12] Dalil yang dipakai adalah hadits Nabi: الثيب أحق بنفسها من وليها والبكر تستأذن في نفسها واذنها صماتها
(Janda lebih berhak atas dirinya sedang perawan diminta ijinnya. Dan diamnya seorang perawan itu tanda persetujuan).
Ibnul Qoyyim dari madzhab Hanbali sepakat dengan pendapat madzhab Hanafi tentang tidak bolehnya ayah memaksa anak perawan dewasa untuk menikah. Dalam kitab Zadul Ma’ad Ibnu Qayyim mengatakan:


لا تجبر البكر البالغ على النكاح ، ولا تزوج إلا برضاها . وهذا قول جمهور السلف، ومذهب أبي حنيفة ، وأحمد في إحدى الروايات عنه. وهو القول الذي ندين الله به، ولا نعتقد سواه، وهو الموافق لحكم رسول الله، وأمره ونهيه، وقواعد شريعته، ومصالح أمته

(Wanita perawan hendaknya tidak dipaksa menikah dan tidak dinikahkan kecuali dengan izinnya. Ini adalah pendapat jumhur ulama salaf, madzhab Abu Hanifah dan Ahmad Hanbali dalam salah satu riwayat … Ini merupakan pendapat yang sesuai dengan hukum Rasulullah, perintah dan larangannya, kaidah syariahnya dan kemaslahatan umatnya).[13]

Perlu dicatat, bahwa perbedaan pendapat ulama tentang boleh tidaknya wali memaksa kawin tersebut terbatas pada wali mujbir yakni ayah dari perempuan. Sedangkan wali non-mujbir, maka ulama sepakat tidak boleh menikahkan perempuan perawan tanpa ijin dari wanita tersebut.[14]

Perempuan Janda

Adapun tentang perempuan janda, maka ulama dari keempat madzhab  sepakat tidak bolehnya wali mujbir untuk melakukan kawin paksa tanpa ijin dari yang bersangkutan. Hal itu karena jelas dan eksplisitnya hadits Nabi yang menyatakan: الثيب أحق بنفسها من وليها والبكر تستأذن (Janda itu lebih berhak atas dirinya daripada walinya. Sedangkan perawan dimintai ijin).
As-Syairozi dalam Al-Muhadzab mengatakan:


اتفق العلماء على وجوب استئذان الثيب
والأصل فيه قوله تعالى { فلا تعضلوهن أن ينكحن أزواجهن إذا تراضوا } فدل على أن النكاح يتوقف على الرضا من الزوجين . وأمر النبي صلى الله عليه وسلم باستئذان الثيب ، وردّ نكاح من زوجت وهي كارهة

(Ulama sepakat atas wajibnya meminta ijin wanita janda. Dalil asalnya adalah firman Allah QS Al-Baqarah 2:232  [maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka] Ayat ini menunjukkan bahwa pernikahan memerlukan ijin dari kedua calon. Nabi juga memerintahkan untuk meminta ijin perempuan janda. Dan tertolaklah pernikahan janda yang dikawinan padahal ia tidak suka..)[15]

Imam Nawawi dalam Syarah Muslim menafsiri hadits perempuan janda di atas menyatakan:

وأما الثيب فلا بد فيها من النطق بلا خلاف سواء كان الولي أبا أو غيره لأنه ؛ لأنه زال كمال حيائها بممارسة الرجال ، وسواء زالت بكارتها بنكاح صحيح أو فاسد ، أو بوطء شبهة أو بزنا ، ولو زالت بكارتها بوثبة أو بإصبع أو بطول المكث أو وطئت في دبرها فلها حكم الثيب على الأصح وقيل : حكم البكر والله أعلم

(Adapun janda maka ijinnya harus dalam bentuk ucapan yang jelas. Baik walinya ayahnya sendiri atau yang lain. Karena seorang janda tidak lagi malu-malu terhadap laki-laki. Baik sudah hilang keperawanannya karena nikah yang sahih atau fasid, atau karena wati’ syubhat atau zina. Apabila hilang keperawanannya karena sebab lain seperti jari dan lain-lain. .. maka ia dihukumi janda menurut pendapat yang lebih sahih. Menurut pendapat lain ia dianggap perawan.)[16]

Kesimpulan

Kawin paksa oleh wali mujbir, yaitu ayah, kepada anak gadisnya yang sudah dewasa (akil baligh) dan masih perawan itu dibolehkan menurut jumhur ulama termasuk madzhab Syafi’i, Maliki dan sebagian madzhab Hanbali. Namun madzhab Hanafi dan sebagian madzhab Hanbali, termasuk Ibnul Qoyyim, tidak membolehkan hal tersebut. Menurut kedua madzhab terakhir, tidak sah hukum kawin paksa. Dan status pernikahannya ditangguhkan sampai yang bersangkutan tidak keberatan.

Adapun perempuan janda, maka ulama seluruh madzhab sepakat atas wajibnya meminta izin apabila hendak menikahkannya. Artinya, tidak memaksa dan wajib merestuinya apabila dia meminta dinikahkan.[]

FOOTNOTE

[1] Detik.com, “‏Kronologi Kasus Suap Daging Sapi Impor” 30 Januari 2013.
[2] Obornews.com,  “Darin Diduga Menikah dengan LHI Karena Terpaksa”, 29 Mei 2013.
[3] Wali mujbir dalam istilah syariah adalah wali nikah yang punya hak memaksa menikahkan tanpa izin perempuan yang berada di bawah perwaliannya. Wali mujbir adalah ayah kandung, kakek, dan ke atas.. Lihat, Al Jaziri dalam Al Fiqh alal Madzahib al Arba’ah, “Aqsamul Wali Al Mujbir wa Ghairihi”
[4] Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Fathul Bari, IX/123.
[5] Al-Jaziri, ibid.
[6] Ibnu Hazm dalam Al Mahalli, IX/458
[7] Ibid
[8] Ibid.
[9] Ibnu Abdil Barr dalam At-Tamhid, XIX/98.
[10] Abu Syaraf An-Nawawi dalam Al-Majmuk Syarah Muhadzab, XVI/169; Ibnu Abdil Barr dalam Al-Istidzkar, XIX/114.
[11] Al-Jaziri dalam Al-Fiqh alal Madzahibil Arba’ah, IV/24.
[12] Ibnu Rushd, Bidayatul Mujtahid, III/1241,  Al-Mabsuth III/5; lihat juga Abu Syaraf An-Nawawi, Al-Majmuk, ibid.
[13] Ibnul Qayyim Al-Jauziyah dalam Zaadul Ma’ad, V/88.
[14] Abu Syaraf An-Nawawi, ibid.
[15] Dikutip oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Fatbul Bari XII/341.
[16] Abu Syaraf An-Nawawi dalam Syarah Muslim, IX/203.

Hukum Kawin Paksa dalam Islam
Kembali ke Atas